Kisah Seorang Ibu Muslim

Majalah Sydneys Child itu datang lagi. Majalah itu diterima cuma-cuma
oleh semua murid sebagian sekolah dasar di negara bagian New South
Wales, Australia setiap bulan. Biasanya, saya hanya membaca majalah
berukuran A3 dengan kover berwarna itu sambil lalu saja. Karena
pembacanya adalah para orang tua murid setempat yang sebagian besar
adalah orang Australia, hampir bisa dipastikan, nilainya amat bernuansa
Barat.

Tetapi, edisi Desember 2002–Januari 2003 kali
ini menarik, justru karena perwajahannya bertajuk ”kedamaian dan
kerelaan”, dengan hanya dihiasi foto dua orang anak berambut pirang
berpakaian burung pinguin dan camar yang tersenyum lucu. Di antara
advertensi dan maskot-maskot bertema Natal di halaman dalam yang memang
juga bisa ditemui di setiap sudut kota, ada foto mesjid yang bagus dan
seorang Ibu berkerudung rapat sedang menggandeng anaknya berjalan di
antara belantara gedung megah di tengah kota Sydney. Dua foto itu
adalah ilustrasi dari salah satu artikel unggulan yang langsung ditulis
oleh seorang ibu muslim yang telah lama menetap di situ. Ia mengirim
artikel berjudul ”Seorang Ibu Muslim Bicara” dengan permohonan agar
redaksi tetap menjaga kerahasiaan nama aslinya.

Dari tulisannya, bisa disimpulkan bahwa ia adalah
seorang keturunan Arab yang telah amat menguasai bahasa Inggris tulis.
Apakah ia penduduk salah satu daerah mayoritas muslim di sekitar Sydney
yang tersebar di Lakemba, Punchbowl atau Marickville, saya tidak tahu.
Dengan anonimitasnya, ia menulis bahwa setelah peristiwa pengeboman
World Trade Centre dan Bali, stigma terorisme banyak dinisbatkan kepada
Islam, sehingga demi keselamatan putri mereka yang masih balita, ia dan
suaminya memutuskan untuk lebih sering menyembunyikan keislaman mereka.

Dua–tiga tahun sebelumnya, ia lebih leluasa
menerangkan kepada setiap orang di sekitarnya tentang alasan mereka
tidak minum alkohol. Tetapi, sekarang ia harus berdalih bahwa ia tidak
makan ini atau minum itu karena alergi atau pilihan gaya hidup.
Diakuinya bahwa ia dan suaminya menderita karena mereka terpaksa
menyembunyikan iman seperti menyembunyikan ketergantungan mereka
terhadap heroin. Padahal, mereka tahu pasti bahwa itu adalah kebutuhan
religius mereka untuk menyiarkan kebaikan dan rahmat yang dibawa oleh
agama mereka. Diungkapkannya bahwa tahunan yang lalu, ketika sebuah
mesjid diserang oleh sekelompok rasis, mereka menerima surat simpati
dari para tetangganya yang asli Australia. Tetapi, kini apa mau dikata
ketika kupingnya harus panas mendengar seorang temannya saling bergumam
bahwa sejak peristiwa bom-bom itu, mereka membenci Islam.

Sebagai pemukim sementara di Sydney, alhamdulillah,
saya punya teman-teman Australia yang tidak menyetujui pengeboman itu
dengan cara elegan, yakni dengan meyakini bahwa justru jika mereka
membenci Islam dan Indonesia, itu tandanya mereka mendukung efek bom
yang memecah-belah hubungan baik. Tetapi, kini dalam relasi sosial yang
lebih luas, senyum dan sikap ramah saya tidak sering berbalas seperti
sebelumnya.

Mungkin betul bahwa pascapengeboman dan stigmatisasi
tidak adil kepada Islam itu pembelian Alquran di Amerika Serikat
meningkat karena banyak orang penasaran terhadap isu kekerasan yang
diembuskan. Mungkin juga betul bahwa beberapa orang kemudian masuk
Islam karena mereka sadar bahwa Islam itu ternyata indah dan benar.

Tetapi, sepanjang pengetahuan saya, ketaatan yang
hanya didasarkan kepada rasa takut adalah ketaatan yang semu. Jika
Islam didakwahkan dengan bom, apakah itu masuk akal?

sumber klik

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

0 Response to "Kisah Seorang Ibu Muslim"

Posting Komentar